Cermin Abadi di Ruang Kelas: Sebuah Refleksi untuk Guru, Pahlawan Tanpa Kata "Mantan"
Dering bel sekolah telah lama
berhenti, dan debu kapur di papan tulis sudah usai dibersihkan. Namun, bagi
sebagian besar dari kita, ada suara yang tak pernah benar-benar hilang: suara guru.
Mungkin ia adalah Bu Rina, guru
Matematika yang tegas namun sabar menjelaskan aljabar hingga larut sore. Atau
mungkin Pak Budi, guru Sejarah yang mampu menghidupkan kisah-kisah masa lalu
seolah kita berada di sana. Mereka, para guru, adalah arsitek jiwa kita, dan
tanggal 25 November, Hari Guru Nasional, selalu memaksa kita untuk berhenti sejenak
dan merenungkan: apakah kita sudah memahami esensi sejati dari profesi yang
paling mulia ini?
Di era digital yang serba cepat,
tugas guru seringkali disalahpahami. Orang berpikir, dengan semua informasi
yang tersedia di ujung jari, guru hanyalah mesin penyalur fakta yang bisa
digantikan oleh chatbot atau video tutorial.
Namun, di sinilah letak kesalahpahaman
terbesar. Ilmu pengetahuan mungkin bisa diunduh, tetapi karakter,
integritas, dan kearifan harus ditanamkan. Tugas guru modern telah
bergeser dari penyalur informasi menjadi Garda Terdepan Pembentukan
Karakter.
Seorang murid mungkin lupa rumus kimia
setelah lulus, tetapi ia tidak akan pernah lupa bagaimana sang guru mengajarkan
etika saat menemukan dompet yang hilang. Ia tidak akan lupa tatapan penuh
keyakinan yang diberikan guru saat ia merasa bodoh dan putus asa. Guru adalah
cermin. Setiap gerak-gerik, setiap intonasi suara, setiap cara guru menghadapi
tekanan kelas yang kacau, semua itu adalah pelajaran hidup yang diserap oleh
puluhan pasang mata muda. Guru mengajari kita berhadapan dengan dunia yang
belum pernah kita kenal, membekali kita dengan kompas moral saat
navigasi kehidupan menjadi sulit.
Mereka adalah profesional yang
dituntut untuk menjadi sempurna, seorang psikolog saat menghadapi siswa yang broken home, seorang negosiator saat mendamaikan
konflik antarsiswa, dan seorang motivator ulung saat semangat belajar meredup.
Inilah alasannya mengapa kita harus memberikan penghormatan bukan hanya karena
jasa mereka mengajar, tetapi karena jasa mereka menjadi teladan yang konsisten.
Inti dari keagungan profesi ini
adalah sebuah kenyataan yang mutlak: tidak ada mantan guru.
Seorang manajer bisa pensiun, dan
sebutannya menjadi "mantan manajer." Seorang presiden bisa
purnatugas, dan ia menjadi "mantan presiden." Statusnya terlepas saat
jabatannya berakhir.
Namun, cobalah cari. Adakah kita
pernah mendengar seseorang menyebut gurunya sebagai "mantan guru"?
Tidak.
Saat kita berpapasan dengan guru
sekolah dasar kita di pasar puluhan tahun kemudian, sapaan yang keluar dari
mulut kita tetap sama: "Assalamu’alaikum, Bapak/Ibu Guru."
Status kehormatan ini tidak luntur
oleh usia atau bahkan pensiun. Mengapa?
- Jejak yang Abadi:
Pengaruh guru bersifat abadi. Ilmu yang ditransfer, nilai yang ditanamkan,
atau dorongan yang diberikan, menjadi fondasi kokoh yang menopang seluruh
bangunan hidup kita. Benih yang ditanam guru akan terus berbuah dalam
setiap kesuksesan yang kita raih.
- Keberlanjutan Peran:
Bahkan setelah meninggalkan ruang kelas, seorang guru tetaplah guru bagi
komunitasnya. Mereka adalah sumber kearifan, penasihat, dan penjaga moral
di lingkungannya. Jiwa pengabdian mereka tidak pernah pensiun.
Hari Guru adalah refleksi bahwa
profesi ini bukanlah pekerjaan yang selesai dalam jam kerja, melainkan sebuah panggilan seumur hidup yang terus berdetak.
Maka, di Hari Guru ini, mari kita
ubah sebutan "pahlawan tanpa tanda jasa" menjadi pejuang yang tak pernah pensiun. Mari kita berikan
apresiasi yang nyata, bukan hanya bunga dan pujian, tetapi pengakuan atas beban
berat dan tanggung jawab moral yang mereka pikul.
Kepada setiap guru yang pernah
singgah dan membentuk hidup kita, yang mengajarkan kita membaca bukan hanya
huruf, tetapi juga dunia, terima kasih. Anda adalah teladan yang abadi, dan
dalam kamus kehidupan kami, Anda selamanya akan menjadi Guru.
Oleh : Tim IT KKG PAI Kota Malang
