Mengintegrasikan Mindfull, Meaningfull, dan Joyfull Learning dalam Pembelajaran PAI: Ikhtiar di SDN Merjosari 2 Kota Malang
Baru-baru
ini, ramai di media sosial tentang wacana Deep Learning sebagai model
kurikulum baru seusai Prof. Dr. Abdul Mu’ti, M.Ed ditetapkan sebagai Menteri
Pendidikan Dasar dan Menengah (Dikdasmen) pada 21 Oktober 2024 yang lalu.
Sebagai guru Pendidikan Agama Islam (PAI), tentu patut merespon wacana tersebut
dengan bijak. Maka saya pelajari konten di YouTube, media sosial, dan
laman Web yang relevan dengan wacana Deep Learning tersebut.
Deep
Learning (Pembelajaran Mendalam) itu merujuk pada sebuah
metode yang digunakan dalam kecerdasan buatan (Artificial Intelligence,
AI) yang mengajarkan komputer untuk memproses data seperti cara kerja otak
manusia, yakni mampu mengenali kompleksitas gambar, teks, suara, dan data lain
untuk menghasilkan wawasan dan prediksi yang dibutuhkan manusia. Tugas-tugas
yang biasanya dilakukan oleh manusia seperti menafsirkan teks, menyalin file
suara ke dalam teks, mengarang tulisan, dan lain sebagainya dapat diotomatisasi
melalui deep learning.
Nah,
bagaimana relevansinya dengan tugas guru dalam mengajarkan PAI di sekolah
dengan kurikulum yang menggunakan Deep Learning?
Dari
berbagai sumber online, penulis yang berlatar belakang sebagai guru PAI di
SDN Merjosari 2 Kota Malang, berusaha memahami deep learning dan
bagaimana cara-cara mengajarkannya kepada peserta didik dengan pendekatan yang berkesadaran,
bermakna, dan menyenangkan. Berikut ini refleksi yang dapat penulis deskripsikan.
Mengintegrasikan Mindful,
Meaningful, dan Joyful Learning
Sebagai
guru, penulis membayangkan komputer canggih itu dapat digunakan untuk membantu dalam
mencari, menemukan, dan memproses bermacam-macam sumber dan bahan ajar PAI yang
kompleks. Sebagaimana diketahui oleh guru-guru PAI, bahwa materi ajar PAI di
Sekolah Dasar itu sangat kompleks, meliputi 5 elemen, yaitu Al-Quran-Hadits, Aqidah,
Akhlaq, Fiqh, dan Sejarah Peradaban Islam. Bahkan muatan materi PAI di madrasah
(MI) lebih kompleks lagi, ada tambahan pelajaran Bahasa Arab dan materi
keislamannya lainnya.
Selain
itu, kompleksitas PAI itu dapat dilihat dari format bahan ajarnya, seperti ada
elemen gambar, suara, teks, perbuatan, dan lain sebagainya. Dengan deep learning,
ada peluang materi ajar PAI di sekolah dapat dipadatkan sehingga lebih ringan,
namun analisis dan penjelasannya dilakukan dengan lebih mendalam.
Berdasarkan
pemikiran tersebut, maka cara membelajaran PAI di sekolah dapat dipilih pendekatan
pembelajaran yang relevan, misalnya dengan mengintegrasikan tiga pendekatan
pembelajaran berikut: (1) mindful learning (pembelajaran yang
berkesadaran), (2) meaningful learning (pembelajaran yang bermakna), dan
(3) joyful learning (pembelajaran yang menyenangkan).
Pertama,
mindful learning memiliki dua elemen, yaitu kesadaran belajar dan
motivasi belajar. Pendidik dan peserta didik harus menyadari bahwa materi ajar
PAI yang sedang dipelajari itu merupakan materi penting. Melalui mindful learning,
pembelajaran PAI dititikberatkan pada kesadaran berfikir kritis peserta didik.
Anggaplah
ketika guru mengajarkan materi Akhlaq tentang “Syukur Nikmat”. Guru mengajak
peserta didik untuk merasakan sensasi menghirup udara segar, menikmati makanan
bersama, meneguk air dari tumbler, dan lain sebagainya.
Dengan
kesadaran belajar yang tinggi, memungkinkan peserta didik berfikir kritis
tentang aspek yang dipelajari. Misalnya, berfikir siapa yang menumbuhkan tanaman
di bumi, siapa yang mengatur air laut untuk manusia, mengapa manusia harus
bersyukur, dan masih banyak pertanyaan lain yang patut dikritisi.
Dengan belajar kritis penuh kesadaran tentang materi
ajar yang sedang dipelajari, maka peserta didik akan termotivasi untuk belajar.
Mereka selalu merasa ingin tahu lebih banyak tentang konten yang dipelajari.
Bila metode ini berhasil, tentu dapat kita bayangkan, hasil pembelajaran PAI
itu akan efektif.
Kedua,
metode meaningful learning. Pembelajaran bermakna ini mengantarkan peserat
didik tentang apa kegunaan mempelajari sesuatu, belajar itu untuk apa?
Jika
apa yang dipelajari itu berguna bagi kehidupannya, maka mereka akan bersemangat
dalam belajar. Sekedar contoh, ketika guru mengajarkan perilaku terpuji tentang
“Berbuat Baik kepada Orang Tua” (birrul walidain), guru dapat mensetting
kelas dengan cara-cara tertentu. Misalnya, sejenak mematikan seluruh lampu
kelas; lalu guru bertanya: apa yang terjadi, gelap bukan? Nah, begitulah
gambaran bagi anak-anak yang tidak suka mengaji dan berdoa, maka hatinya akan gelap;
sulit mendengar nasehat yang baik.
Ketiga,
metode joyful learning. Metode ini mendorong setiap pembelajaran PAI itu
patut diajarkan dengan cara yang menyenangkan, bukan cara yang mengintimidasi.
Misalnya, terhadap anak yang berhasil menjawab pertanyaan, dia mendapatkan
apresiasi dengan tepuk tangan, ucapan hebat, menunjukkan jempol jari, dan lain
sebagainya. Terhadap jawaban yang kurang tepat, katakan bahwa hal itu tidak
apa-apa. Jadi, siswa boleh salah, tetapi tidak boleh berbohong.
Kiranya,
setiap keberhasilan, patut dirayakan dengan cara yang gembira. Pembelajaran
yang menyenangkan tidak berarti harus dengan humor atau fun. Dengan
pembelajaran yang menyenangkan (gembira, joy), diharapkan anak-anak
termotivasi untuk berlajar PAI, sehingga nilai-nilai agama yang baik tertanam
pada diri anak-anak.
Berkesadaran,
Faham dan Menikmati Pembelajaran
Ketiga metode pembelajaran tersebut dapat
diintegrasikan dalam pembelajaran PAI. Sebagaimana disadari bersama, bahwa pelajaran
Pendidikan Agama Islam (PAI) di Sekolah Dasar (SD) sangat berperan dalam
membentuk karakter siswa. Karena itu, capaian belajar PAI itu tidak hanya utnuk
memahami agama secara teoritis, namun juga untuk menghayati nilai-nilai agama
dalam kehidupan sehari-hari. Nah, di era modern yang sudah mengenal AI ini,
kurikulum PAI perlu diadaptasi agar lebih menarik dan relevan bagi siswa dengan
cara mengintegrasikan ketiga metode tersebut.
Hal
itu sejalan dengan pendapat Hanh & Thich (2017) dan Nilson (2016) yang
menyatakan bahwa Mindful learning
merupakan pendekatan yang mengajak siswa untuk berfokus penuh dan menyadari
setiap proses pembelajaran. Pendekatan ini dapat membantu siswa untuk lebih
reflektif dan berkesadaran, sehingga dalam konteks PAI, siswa lebih mampu
menginternalisasi nilai-nilai agama. Mindful learning dapat diterapkan melalui
praktik-praktik sederhana seperti hening sejenak sebelum memulai pembelajaran
untuk merenungi makna materi yang akan dipelajari.
Sementara
itu, Jonassen & Wang (2017) mengemukakan bahwa meaningful learning
menekankan relevansi materi ajar dengan kehidupan nyata. Di dalam pembelajaran
PAI, guru dapat menghubungkan nilai-nilai Islam dengan aktivitas sehari-hari
siswa, seperti mengaitkan konsep jujur dalam pelajaran dengan contoh nyata di
lingkungan sekolah dan keluarga. Pendekatan ini memungkinkan siswa memahami
materi secara mendalam dan aplikatif.
Sedangkan menurut Smith & Kosslyn (2020) dan Martinez (2019), joyful learning dapat meningkatkan motivasi dan minat belajar. Suasana kelas yang menyenangkan dalam pelajaran PAI bisa diwujudkan melalui permainan edukatif atau metode interaktif yang melibatkan siswa secara aktif. Hal ini diharapkan mampu menghilangkan kesan bahwa pembelajaran agama membosankan dan membuat siswa lebih antusias untuk belajar.
Bila ketiga pendekatan pembelajaran tersebut diintegrasikan, maka memungkinkan siswa memahami materi pelajaran secara mendalam sambil menikmati proses belajar. Bagi guru, kombinasi mindful, meaningful, dan joyful learning diharapkan dapat memberikan keseimbangan antara pembelajaran yang serius dan penuh makna dengan suasana yang nyaman dan menyenangkan (Shafiq (2018). Bagaimana menurut Anda?